My Gallery

Rabu, 31 Mei 2017

Standar Etika Profesi IT antara Indonesia dan Eropa

Perkembangan dunia IT telah melahirkan bidang baru yang tidak terlepas dari tujuan utamanya yaitu untuk semakin memudahkan manusia dalam melakukan segala aktifitas. Saat ini ada banyak aneka profesi di bidang IT atau Teknologi Informasi.Munculnya bidang IT yang baru. Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang standar etika profesi IT antara Indonesia dan Eropa.

Standar Etika Profesi IT di Indonesia
Setiap orang mempunyai kemampuan dan keahlian yang berbeda dengan bidang IT yang berbeda-beda, tapi perusahaan di Indonesia membutuhkan sebuah Pekerja IT yang bisa di semua bidang oleh karena itu, standardisasi Profesi IT yang diperlukan Indonesia adalah standar yang lengkap, dimana semua kemampuan profesi IT di bidangnya harus di kuasai tanpa kecuali. Namun menurut saya, hal tersebut kurang berdampak baik bagi sang pekerja. Tidak hanya pekerja yang berprofesi sebagai IT saja namun setiap pekerja di berbagai bidang dan perusahaan pun sewajarnya memiliki jobdesk-nya masing-masing. Jika setia perusahaan menginnginkan setiap pekerja mampu memegang beberapa pekerjaan, mungkin saja itu akan membebankan sang pekerja itu sendiri.
Kembali lagi ke topik semula, standar profesi di Indonesia khususnya IT tidak lepas dari kepemilikan sertifikat sesuai bidangnya. Hal tersebut berguna untuk membuktikan bahwa sang pekerja memang sudah terlatih dan mahir di bidangnya. Di Indonesia sendiri, sertifikasi Internasional dipakai untuk perencanaan karir. Hal itu dikarenakan masih banyaknya profesi yang menduduki lebih dari satu pekerjaan. Contohnya seorang programer di suatu perusahaan juga mengolah database perusahaan tersebut. Hal ini bisa juga diartikan seorang pegawai menduduki dua jabatan sekaligus, yaitu programer dan DBA.Contoh sertifikat di bidang IT yang umum kita tahu yaitu SRIG-PS dan IEEE. Sertifikasi pada model SRIG-PS adalah independen, obyektif, dan tugas yang regular bagi kepentingan profesional dalam satu atau lebih area di teknologi informasi. Sedangkan sertifikasi IEEE adalah suatu jaminan tertulis, yang merupakan suatu demonstrasi formal yang merupakan konfirmasi dan merupakan suatu sistem atau komponen dari suatu persyaratan tertentu dan diterima untuk keperluan operasi. Sertifikasi ini memiliki tujuan untukm membentuk tenaga praktisi TI yang berkualitas tinggi, membentuk standar kerja TI yang tinggi, perencanaan karir, dan lain sebagainya.

Standar Etika Profesi IT di Eropa
Seperti halnya negara maju lainnya, Eropa memiliki standar etika profesi sendiri. Seperti yang kita ketahui, masayarakat (pekerja) di negara maju memiliki pemikiran dan etos kerja yang sangat professional.
Standar Praktek dikembangkan oleh COTEC adalah contoh kode sukarela yang dirancang untuk membantu Asosiasi Nasional untuk membangun dan mengembangkan kode nasional sesuai dengan Hal ini dimaksudkan untuk penerapan umum namun dapat dimodifikasi untuk daerah spesialis misalnya pediatri praktek, kepedulian masyarakat, dll. Standard Profesional Regional adalah penting dalam menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas, begitulah model standardisasi dalam dunia TI disana. Wakil untuk COTEC diminta untuk memastikan bahwa penutur aslinya yang menterjemahkan kode kedalam bahasa Eropa lainnya karena terdapat frase dan istilah yang sulit diterjemahkan. Terdapat bagian utama dalam dokumen ini, yaitu kode etik federasi dunia kerja Therapist. Satu hal penting mengapa profesi IT di Eropa sangat maju dan terprogram dengan baik.

Kesimpulan:
Berdasarkan standar yang telah dijelaskan diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hal yang menjadi pusat perhatian adalah apa yang digunakan dalam pengembangan kompetensi diri setiap pekerja IT. seperti negara Eropa, mereka selalu memperhatikan sistmatika profil spesialis dalam proses pengembangan teknologi informasi itu sendiri. Sehingga segala hal terfokus dan terprogram dengan apik.
Pada intinya proses seperti membutuhkan proses kerja atau cara bekerjan yang baik dan terkontrol kepada para spesialis baik di perusahaan maupun organisasi. Pengembangan kompetensi akan lebih cenderung berorientasi pada proses kerja agar terciptanya etika dan hasil kerja yang maksimal.

Kamis, 04 Mei 2017

Keterbatasan UU Nomor 36 tentang Telekomunikasi

Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, sehingga perlu mengadakan penataan kembali dalam penyelenggaraan telekomunikasi nasional.

Undang-Undang nomor 36 tentang telekomunikasi memiliki 9 bab dan 64 pasal. Pada kesempatan kali ini saya akan membahas kelemahan pasal 40 yang terdapat pada UU No.36. Pasal tersebut berisi “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melaiui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.


Pada zaman yang semakin modern seperti saat ini, penggunaan informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat. Kalimat yang terdapat pada pasal 40 tersebut jelas menjelaskan bahwa setiap orang dilarang untuk menyadap atau menyalahgunakan informasi pada jaringan telekomuniksi dalam bentuk apapun. Namun yang terlihat adalah, masih banyak pihak-pihak yang menyalahgunakan atau menyebarkan berita hoax, menjelekan nama baik pihak lain atau organisai tertentu, membuat hidup pihak lain menderita, mengambil data-data dan informasi penting demi kepentingan pribadi atau tindak kejahatan, dan masih banyak lagi. Hal tersebut mungkin dikarenakan sebagian pihak (pelaku penyadapan) belum mengetahui tentang isi pasal 40. Tidak hanya itu,  Ragamnya peraturan perundangan di Indonesia dimana undang-undang yang satu saling bertentangan. Contoh undang-undang yang juga mengatur tentang penyadapan yaitu, UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal tersebut memberi celah kepada pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan penyadapan informasi dan semakin menjamur keberadaannya. Pada hal ini, menurut saya masih memiliki kelemahan, diantaranya adalah :

  • Masih kurangnya sosialisai tentang peraturan UU.36 pasal 40 dan peraturan lainnya yang mengatur tentang kegiatan penyadapan informasi. 
  • Kesadaran masyarakat tentang peraturan yang mengatur tentang informasi di jaringan telekomunikasi.
  • Beragamnya peraturan undang-undang yang mengatur tentang telekomunikasi yang saling bertentangan.
  • Kurangnya inovasi dari penegak hukum untuk mengefektifkan peraturan yang ada dengan melakukan interpretasi atau kontruksi hukum.
Kesimpulannya adalah diperlukan sosialisai tentang undang-undang ini serta perubahan-perubahan yang terkait tentang undang-undang tersebut kepada masayarakat luas, agar tindakan penyadapan atau penyalahgunaan informasi pada jaringan telekomunikasi dapat di tekan bahkan dihilangkan keberadaannya. Jika hal tersebut dapat terwujud, maka pergerakan informasi pada jaringan telekomunikasi dapat berjalan dengan lancar tanpa ada rasa ancaman atau kekhawatiran dalam mengakses suatu informasi.

Akhir kata penulis mohon maaf bila ada kalimat yang tidak berkenan. Penulis sama sekali tidak ingin menyinggung atau menjelek-jelekan suatu pihak dan lain sebagainya. Dalam penulisan ini penulis hanya ingin menyampaikan pendapat tentang tulisan yang penulis tulis. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca.